Menjadi Manusia Baru

18 Juli 2015, Umargie Al Ghazali lahir ke dunia pukul 19.50 WIB dari rahim umi-nya. Saya melihat langsung proses persalinan, sampai memperdengarkannya azan di telinga kanannya yang membentuk lafaz Allah. 

Mementum yang sebenarnya saya tunggu ketika memutuskan untuk menikah dan meneruskan keturunan. Bagi saya, ini hidup baru. Di mana terjawab tujuan hidup sebagai orang timur - berkeluarga, meneruskan keturunan, dan kembali ke rumah selepas berpetualang. 

Umargie Al Ghazali, nama yang sudah saya persiapkan sejak lama. Nama Gie dan Al Ghazali menjadi nama yang 'wajib' saya berikan. Saya sudah berpikir memberikan nama itu kelak. Gie, aktivis kampus era 60-an dan tewas di Puncak Mahameru karena menghisap asap beracun. Dia sosok idealis dan mistrius. Catatan harian Soe Hok Gie saya baca dan mendapatkan banyak cerita sebuah uangkapan soal "lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". 

Al Ghazali, seorang filosof dan teolog muslim dari Persia. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Saya mendoakan anak saya bisa seperti dia.

Umar, sahabat Nabi Muhammad yang sabar dan pemimpin orang-orang beriman. 

Banyak yang bertanya setelah menjadi ayah, apa rasanya? Saya lebih merasa mempunyai tujuan pasti dan tanggungjawab penuh. Setidaknya ada yang pasti dipikirkan dan alasan, mengapa ingin pulang ke rumah?